by : asmatuqa
Kicauan
burung di pagi hari, cahaya yang memaksa masuk dari biasnya kaca
jendela kamar, gemiricik air terdengar bak alunanan aliran air sungai nan
jernih, terbangunkan akan sayup-sayupnya kegaduhan tiap paginya. Pelakunya
tidak lain tidak bukan adalah dek kecil biasa kusapanya. Kubuka mataku perlahan
dan kudapati kegelapan menyelimuti sekotak kamar berbentuk kubus “kepala danbo”
itu, kacamata mana.
***
Telah
sepertiga kilometer berjalan sambil mengucek mata menuju ruang kuliah analisis
real yang bagaikan sebuah negeri antah berantah di hadapanku. Pasalnya tidak pernah nyambung dengan apa itu
jarak yang dibuat sembarang dekat dengan menggunakan epsilon sebagai simbolnya.
Meskipun ia sebagai kebanggan tertinggi di bidang ilmu matematika, tak bisa
dipungkiri bahwa itu membuatku mati kutu ketika menghadapinya. Huwwaaa...
pernah terbersit pula apa yang membuat diriku memasuki jurusan matematika
sebagai tingkat sekolah lanjut selepas SMA dan ditambah yang seharusnya
kulakukan ketika menjadi alumni anak pondok—madrasah kedua—sebagai kesempatan
mengabdi, oohh ini hal yang tak seharusnya kulakukan. Apalagi melihat
hubunganku dengan pak Danang sebagai dosen pengajar mata kuliah tersebut
merangkap jabatan sebagai ketua
kemahasiswaan, yang biasa aku bantah gagasan beliau dengan kekejaman beliau
dalam merubah sistem orientasi mahasisiswa baru oleh Senat di fakultas kami,
mengingat aku sebagai ketua komisi A di badan legislatif mahasiswa yang bertugas
menjadi pengontrol dan pelindung ide-ide dari menteri badan eksekutif mahasiswa.
Kutarik nafasku dalam-dalam, “fiuuhhh”.
Tak
ubahnya sahabat dekat yang selalu ada dikala suka dan duka, teman sekamar si
kecil tadi menggenggam erat tanganku, seakan ia mengatakan ‘kuatkan dirimu,
bahwa dengan berurusan dengan dosen satu ini tidak akan mengubah kebahagiaanmu
selama-lamnya, ini hanya tentang 24 minggu atau sama dengan 6 bulan atau sama
dengan 1 smester saja’. Iya ini adalah mata kuliah yang diwajibkan departemen
sebagai bentuk pertanggungjawaban menjadi seorang mahasiswa di jurusan yang
hanya di sukai orang para pemikir-pemikir waras yang sefase dengan einstain cs.
Dia mulai memulihkan semangat itu, semangat yang sama-sama kami bangun. “Hei,
aku tahu ini tidak mudah, dont say that u alone, Allah with us, akan ada
jalan di ujung sana. Kita harus tetap berjuang, Ochin. Ingat, mimpi-mimpi
kita!”, tahannya.
“Aku
tahu ini memang sulit, aku sudah berusaha.. berjuang.. but, u know me so
well, aku tetap seperti ini. Aku tidak sama seperti dirimu yang cerdas,
mendengarkan di kelas saja sudah paham. Semakin lama aku semakin terpuruk, terlihat bahwa aku yang paling
tidak bisa, apa aku salah masuk jurusan? Aku bukan dirimu aku tak bisa seperti
dirimu. Ya Allah.. kulo kedah despundi niki Robb. Makhluk apa aku ini
betapa bodohnya? Aku bingung terhadap diriku sendiri.. Dek Kecil, aku lelah,
mimpi menjadi seorang pendidik itu rasa-rasanya semakin jauh bahkan semakin
menghilang”, keluhku.
Dek
kecil menghentikan langkahnya, aku juga. Dengan sigapnya dia melangkah tepat
berada di hadapanku. Di genggamnya bahuku, hingga membuatku seakan tegak kembali
seperti pohon kelapa lurus keatas. Di lain sisi, pintu ruangan sudah tinggal 3
meter dari tempat kami berhenti.
“Dengar!
”, ucapnya tegas namun wibawa. “Allah tidak menciptakan makhlukknya dengan
sia-sia. Dia senang melihat hamba-Nya berusaha keras. Kita pernah gagal, kamu
pernah gagal, begitupun dengan diriku. Tabarok, tabarokaladzi biyadihil mulk.
Allah pemilik kerajaan ini semua, Allahlah yang menjatah kegagalan
masing-masing orang. Allah ingin melihat kita mengusahakan yang ada di hadapan
kita! ” tambahnya.
Ya
begitulah si kecil,teman adu diskusi. Pembawaaanya yang keras sama seprtiku
sama sama ngeyelnya, namun kali ini ngeyelnya mengalahkan kengeyelanku.
Selalu aja bisa mem-pause keluh
kesahku. Benar! Hanya bisa mem-pause, karna seperti yang kubilang tadi
bahwa aku sama ngeyelnya dengan dia. Karena pada dasarnya akulah yang sangat
gampang lelah sebenarnya. Padahal aku punya mimpi-mimpi besar!
Kemudian
ia mengeluarkan sebuah note kecil dan menuliskan sesuatu. Dengan tatapan yang
kosong aku melihat tingkah apa yang dilakukan sahabat kecilku yang satu ini, ia
tuliskan sebuah kalimat..eh beberapa, huruf atau kata entahlah. Lagian ia
menuliskannya begitu cepat, lalu melipatnya dan memberikannya padaku. Sambil
mengenggam tanganku lagu diajaknya aku melangkah ke ruangan itu.
“..
sedemikian hingga bahwa xn dikurang xm dibuat smbarang dekat kurang dari
epsilon.. 1/n dengan n elemen bilangan Asli.. ya mbk ochin silakan berikan saya
alasan mengapa saya haru memilih 1/n sebagai epsilon? Pada pembuktian barisa
cauchy itu” serang pak Danang.
Kaget
minta ampun. Apa gag ada yang lain gitu? Tiba-tiba dihadapkan pada pertanyaan
itu jantungku kian lama kian tak teratur berdecak kencang, gawat.
“emmm
anu ..”jawabku tergugup. Kuperas otakku supaya nyambung arah pembicaraan pak Danang tadi sampai mana.. tik tok tik tok lama waktu dan aku hanya diam. Dan
terdengar ledakan tawa di kelas. Oh tidak, ini adalah salah satu pertanyaanku
semalam selama aku mempelajari bab ini di buku R.G. Bartle. Dan, seharusnya
yang bertanya kepada beliau itu aku. Tapi ya begitulah selalu tak pernah ada
keberanian untuk menuju ke ruangan dosen beliau untuk bertanya secara langsung,
saking berkuasanya beliau dan julukan killer yang sudah melekat pada nama beliau.
“Nah,
justru itu yang ingin saya tanyakan kepada bapak sebenarnya”, terdengar suara
dari bibirku keluar begitu saja. Gelegar tawa kian nyaring membahana kembali.
Malunya.hufth hufth
Aku kikuk
“Saya
khawatir apa kamu benar-benar menanyakannya kepada saya karena ketertarikanmu pada
mata kuliah ini atau kamu yang memang tidak tahu apapun!”, terang beliau.
Aiiihh kalimat itu..
Hatiku
meleleh.. enggeh pak njenengan leres. Memang aku tak bisa apa-apa.
Hampir mewek dalam kelas, tapi kutahan. Secara bersamaan si kecil
menggemgam erat lagi jemari-jemariku di sebelah bangkuku. Chin, kuatkan hatimu!
“Mahmudah,
bagaimna menurutmu?” bapak menanyakannya kepada si kecil yang duduk
disebelahku.
***
Of course, she said
right answer. Menjawabnya
dengan lancar tadi pagi.
***
Sekarang
aku bagaikan butiran debu. Kutatap lembaran kecil di meja belajarku, kubuka
perlahan.
Sukses=
G-n, untuk suatu n= 1, 2, ... G.
Lama
aku memikirkan apa yang ditulisakan Dek kecil untukku. I understaind! G adalah
gagal, dan n adalah banyaknya gagal itu. Yang bisa aku maknai dari nasehatnya
adalah semakin bnyak mengalami gagal maka semakin dekat dengan sukses. Karena
gagal-gagal itu akan berkurang sedikit demi sedikit! Gagal dan sukses itu sudah
menjadi takdir allah, bahwa semuanya ini berjalan sesuai
dengan kehendaknya wahuwa alaa qulli syai’in qodir.
Aihh..hehe aku sayang kamu
kecil!
Kucari
dia yang tengah asyik menonton acara matta najwa favorit program yang kami suka
sembari kupeluk ia dan kubilang terimakasih.
Malamnya
kami tinggal melangkah ke jemuran untuk melihat sesawahan disekitar rumah
penduduk tempat kami ngekos. Tatapanku menewarang ke langit malam yang menjatuhkan buliran-buliran air,
seakan mereka mendukung rasa syukurku memiliki sahabat seperti ia. Dingin
sekali. Tapi seperti yang telah kukatakan
bahwa aku sangat senang menikmati hujan. Hehe suasana ini nyaman bagiku. Dan
malam ini.. kurasakan suara hujan seperti
suara penyemangat atas mimpi-mimpi kami. ^^
1 comments:
penokohanmu broooo hahahhaha,, knapa namaku semuaaa
Post a Comment